Tonic Immobility: Mengapa Korban Kekerasan Seksual Seringkali tak Dapat Melawan?
Pia Arnis (yulfia.arnis@gmail.com)
-
Kekerasan seksual memang merupakan permasalahan serius yang perlu untuk terus diperhatikan, tidak hanya di Indonesia namun juga secara global. Angka kekerasan seksual yang terus meningkat di Indonesia setiap tahunnya memberikan penjelasan mengenai betapa krusialnya kasus ini di kalangan masyarakat. Siapa saja tentu memiliki kemungkinan untuk menjadi korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan. Sayangnya, tidak banyak orang-orang yang menjadi korban mampu bersuara terhadap dirinya dan melaporkan tindakan kekerasan yang ia alami kepada pihak atau lembaga yang berwenang dengan berbagai alasan, seperti rasa malu dan takut disalahkan oleh masyarakat terhadap dirinya yang tak lain sebutannya sebagai victim blaming.
Orang-orang yang belum pernah merasakan menjadi korban
kekerasan seksual atau masyarakat pada umumnya seringkali bertanya-tanya pada
korban, mengapa ia tak melawan? Atau berteriak mencari pertolongan dan
usaha-usaha melepaskan diri dari ancaman yang datang saat ia mendapatkan
penyerangan dari pelaku. Tak satu dua kali penulis bahkan menemukan fakta bahwa
instansi negara yang berwenang mengurus kasus kekerasan seksual yang dilaporkan
pun bertanya hal yang sama: “Mengapa tidak melawan?” atau “Mengapa tak
berteriak?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali dijadikan sebagai
keyakinan banyak orang bahwa korban kekerasan seksual seperti korban
pemerkosaan seharusnya bisa melawan atau melakukan sesuatu untuk menyelamatkan
dirinya dari penyerangan. Pada beberapa masyarakat menurut Abarbanel (1986
dalam Marx et al., 2008: 70), pihak kepolisian atau lembaga hukum negara
menjadikan ‘perlawanan korban’ sebagai salah satu tanda atau bukti kasus pemerkosaan
yang dilaporkan dapat diklasifikasikan sebagai kasus pemerkosaan.
Lalu, bagaimana dengan korban pemerkosaan yang
melaporkan kasus yang ia alami namun tak dapat memberikan bukti yang jelas
terkait perlawanan yang ia lakukan karena faktor-faktor tertentu? Atau laporan
dari korban perempuan yang mengalami pemerkosaan dari pasangan laki-lakinya
sendiri namun tidak bisa melawan karena tekanan atau ketakutan yang ia rasakan
saat penyerangan itu terjadi? Dalam konteks ini, seringkali masyarakat— atau
bahkan instansi legal— tak percaya pada korban kekerasan seksual yang benar-benar
mendapatkan tindak kejahatan tersebut hanya karena korban terkesan tidak
melawan. Padahal faktanya, kondisi ‘tak dapat melawan’ ini merupakan kondisi
yang jelas dapat terjadi pada siapapun yang mengalami peristiwa traumatis berat, termasuk salah satunya adalah kekerasan seksual.
Pernahkah kamu mendengar korban-korban kekerasan
seksual tak dapat melawan karena tubuhnya ‘kaku’ atau tidak bisa digerakkan?
Atau korban-korban yang tidak bisa berteriak karena suaranya terasa tercekat akibat
perasaan shock yang dialami saat
penyerangan? Hal itu benar-benar ada pada tubuh manusia secara alamiah, atau
dapat disebut sebagai tonic immobility.
Bados et al (2008: 517) menjelaskan tonic
immobility sebagai sebuah kondisi imobilitas tonik atau penghambatan
pergerakan yang ditandai dengan imobilitas verbal (tak mampu bersuara), gemetar, kekakuan otot,
sensasi dingin dan mati rasa atau ketidakpekaan terhadap rasa sakit yang distimulasikan
oleh tubuh. Tonic immobility
merupakan reaksi defensif secara biologis yang muncul saat seseorang sedang
dalam keadaan terancam, salah satunya pada kasus penyerangan kekerasan seksual.
Tonic
immobility sendiri sebenarnya lebih
banyak diteliti dan didapatkan pada hewan, yang dipahami sebagai reaksi
defensif pada hewan saat penyerangan yang dilakukan oleh hewan predator (Moller
et al., 2017: 932). Saat hewan sedang berada pada posisi terancam, mereka akan
secara refleks menghentikan segala pergerakan atau ‘freeze’ dengan tujuan untuk mengelabui predator dan kabur dari
penyerangan tersebut. Bila pada dasarnya hewan predator akan bereaksi pada
pergerakan mangsanya, lalu hewan mangsa tersebut secara refleks membeku atau
tidak bergerak, kemungkinan mangsa untuk menyelamatkan dirinya dan lari akan
lebih besar karena hewan predator terdistraksi untuk sesaat (Heidt et al., 2005
dalam Bados et al., 2008: 517). Kemudian, pada perkembangannya tonic immobility juga diteliti pada
manusia, yaitu pada kasus pemerkosaan (Galliano et al., 1993 dalam Kalaf et al.,
2017: 8). Pada kasus pemerkosaan, banyak korban yang melaporkan perihal
hilangnya kemampuan korban untuk berteriak atau meminta bantuan, sebuah
fenomena yang sebelumnya dinamai sebagai “rape-induced
paralysis” atau “kelumpuhan-akibat perkosaan” (Burgess & Holmstrom,
1976 dalam Marx et al., 2008: 78).
Ada hal yang unik dari hubungan tonic immobility pada hewan dengan rape-induced paralysis yang dialami korban kekerasan seksual.
Beberapa peneliti telah menyimpulkan pelaku pemerkosaan akan bereaksi pada
respon yang diberikan korban sedikit banyak sama dengan cara hewan predator
bereaksi pada mangsanya. Secara spesifik, bagi beberapa pelaku, perlawanan yang
diberikan korban akan menimbulkan kemarahan pada diri pelaku yang berujung pada
kekerasan fisik yang membahayakan korban (Marshall et al., 1990 dalam Marx et
al., 2008: 79). Sedangkan beberapa pelaku lainnya lebih memilih untuk
menghentikan tindakannya dan pergi saat mendapatkan perlawanan dari korban.
Para peneliti mengasumsikan saat kekerasan seksual
berlangsung, sekitar sepertiga korban akan melakukan berbagai macam perlawanan
seperti memukul pelaku, berlari, berteriak atau memberitahu pelaku untuk tidak
melakukan tindakan tersebut dan mencari pertolongan lain (Giacenti &
Tjaden, 1973 dalam Fusé et al., 2007: 266). Burgress & Holmstrom (1976,
dalam Fusé et al., 2007: 266) mengklasifikasikan beberapa perilaku yang
dimiliki korban saat kekerasan seksual terjadi, seperti: cognitive assestment strategies (secara mental berusaha mengerti
situasi, bersikap tenang dan merencanakan pelarian), verbal strategies (berteriak, atau berusaha meminta pelaku untuk
menghentikan tindakannya), dan physical
actions (melawan balik pelaku). Meskipun begitu, beberapa perempuan justru
menunjukkan respon biologis yang ditandai dengan imobilitas atau pembekuan yang
tidak disengaja dalam tubuhnya. Respon ini kemudian membuat korban merasa
‘lumpuh’ atau membeku pada saat mengalami penyerangan, diikuti oleh
ketidakmampuan korban untuk melindungi diri atau mencari bantuan. Kondisi
inilah yang kemudian dikenal dengan tonic
immobility atau imobilitas tonik.
Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Galliano et
al. (1993, dalam Abrams et al., 2009: 551) yang melibatkan 35 korban kekerasan
seksual, 37% dari total korban tersebut melaporkan bahwa mereka merasa lumpuh
dan tidak dapat bergerak atau mengendalikan diri saat penyerangan berlangsung.
Penelitian lainnya yang dikerjakan oleh Heidt et al. (2004, dalam Abrams et al.,
2009: 551) melibatkan perempuan korban kekerasan seksual pada masa anak-anak (Child Sexual Abuse), melaporkan 52% mengalami
kondisi tonic immobility pada saat
kekerasan seksual terjadi. Lebih lanjut, tonic
immobility memiliki hubungan yang erat dengan gangguan psikologis seperti
depresi, kecemasan, Post Traumatic Stress
Symptoms atau gejala gangguan pasca traumatis.
Fusé et al. (Bados et al., 2008: 517) mempelajari
kemunculan tonic immobility pada 191 perempuan
yang pernah mengalami kekerasan seksual saat kecil dan melaporkan setidaknya
ada 41.7% responden yang merespon kejadian trauma yang mereka alami dengan tonic immobility taraf sedang seperti
membeku, dan 10.4% lainnya dengan tonic
immobility taraf ekstrem seperti kelumpuhan total. Meskipun begitu, tonic immobility ternyata tak hanya
terjadi pada manusia korban kekerasan seksual saja, namun pada
kejadian-kejadian yang menimbulkan trauma mendalam lainnya. Bados et al. (2008)
mencari tahu lebih dalam mengenai fenomena tonic
immobility ini dengan cara membagi grup responden berdasarkan jenis trauma
yang mereka miliki seperti: a) pernah mengalami insiden kecelakaan yang hebat,
b) menjadi korban dari tindakan kekerasan, c) mengalami kekerasan fisik/ psikis
dari kekerasan seksual, d) menerima berita mengenaskan seperti berita mutilasi
atau kematian orang terdekat, e) trauma lainnya. Hasil dari penelitian yang
dijalankan Bados et al., menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
antara tonic immobility yang dialami
korban dari berbagai trauma yang disebutkan di atas. Artinya, kelumpuhan yang
dialami tubuh pada korban yang memiliki trauma berat adalah hal yang umum
terjadi, apa pun jenis trauma berat yang pernah dialami.
Tonic
Immobility seperti yang telah penulis
sebutkan di atas pada dasarnya memiliki hubungan yang erat dengan permasalahan
psikologis yang dialami korban kekerasan, seperti depresi, kecemasan, dan
gejala Post-Traumatic Stress Disorder
atau PTSD Symptom (Heidt et al., 2005
dalam Humphreys et al., 2010: 359). Pada penelitian yang dikerjakan oleh
Humphreys et al. (2010) dengan melibatkan 131 perempuan korban kekerasan
seksual masa kecil (Child Sexual Abuse),
menjelaskan bahwa tonic immobility
sangat menjadi faktor ketakutan peritraumatik yang kemudian menyebabkan gejala
PTSD pada korban. Perempuan korban Child
Sexual Abuse yang mengalami tonic
immobility saat penyerangan berlangsung menunjukkan gejala PTSD yang lebih
besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami tonic immobility pada saat kekerasan seksual terjadi. Hubungan yang
unik antara tonic immobility dengan
gejala PTSD kemudian didukung oleh pernyataan Marx et al. (2008 dalam Humphreys
et al., 2010: 368), yaitu pembekuan dan kelumpuhan akibat tonic immobility pada korban membuat korban ‘menyalahkan dirinya
sendiri’ karena tidak bisa mencegah penyerangan yang terjadi pada dirinya.
Perasaan ini kemudian akan berujung pada penyesalan dan perenungan mendalam
yang mengganggu pikiran terhadap peristiwa traumatis yang dialami (Metzger,
1976 dalam Humphreys et al., 2010: 368). Perasaan bersalah dan menyalahkan diri
sendiri ini kemudian membuat korban kekerasan seksual mengalami kesulitan dalam
proses penyembuhan (Frazier, 1990 dalam Marx et al., 2008: 83).
Self-Blaming atau menyalahkan diri sendiri pada korban kekerasan
seksual tidak terlepas dari tanggung jawab orang-orang di sekitar korban
seperti keluarga, teman, atau instansi legal. Pertanyaan-pertanyaan menyudutkan
akan dilemparkan pada korban karena keyakinan orang-orang bahwa korban
kekerasan seksual seharusnya dapat melawan. McCaul et al. (1990, dalam Marx et
al., 2008: 83) membuat penelitian dengan melibatkan pendapat mahasiswa pada
sembilan kondisi perkosaan dengan jenis perlawanan yang berbeda pada setiap
kondisi. Hasilnya cukup miris, para partisipan cenderung akan lebih menyalahkan
pelaku ketika korban melakukan perlawanan, sedangkan pada korban yang tidak
melakukan perlawanan akan lebih disalahkan dibanding pelaku. Akibatnya, korban
kekerasan seksual yang mengalami tonic
immobility juga akan mengalami proses penyembuhan diri yang lebih lambat
akibat kurangnya dukungan dari orang sekitar, yang berujung pada tingginya
resiko gejala PTSD atau gangguan psikologis lainnya pada korban (Zoellner et
al., 1999 dalam Marx et al., 2008: 84).
Ironi inilah yang terjadi pada kondisi sosial
masyarakat, tak terkecuali Indonesia, yang cenderung menyalahkan korban dengan
dalih korban yang tidak melawan atau justru dianggap ‘menikmati’ insiden
tersebut. Banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami dengan baik mengenai
betapa krusialnya kasus kekerasan seksual dan cenderung tidak berempati pada
korban kekerasan seksual. Perempuan utamanya menurut Wongkar (2019: 7), akan
menjadi sasaran yang disalahkan, dibully,
termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami, atau kejahatan perkawinan
lainnya, sementara laki-laki sebagai pelaku utama justru akan lolos dari
penghakiman sosial. Skenario dimana korban yang lebih disalahkan dan
bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa dirinya sendiri sudah menjadi hal
yang umum di masyarakat Indonesia dalam menghadapi kasus pemerkosaan atau kekerasan
seksual lainnya. Jika seorang perempuan diam dan tidak memberikan perlawanan
saat diperkosa adalah salah, namun jika ia melawan dan mendapatkan perlakuan
lebih buruk yang membahayakan dirinya maka ia juga bersalah.
Tulisan mengenai tonic
immobility ini didasari pada penelitian-penelitian yang dilakukan di luar
Indonesia, namun kondisinya sedikit banyak cukup dapat dijadikan sebagai
gambaran mengenai alasan mengapa korban kekerasan seksual cenderung tidak dapat
melawan saat penyerangan berlangsung. Meskipun begitu, perlu kajian yang lebih
mendalam mengenai tonic immobility
ini sendiri, terutama di Indonesia, mengingat peneliti hampir tidak menemukan
literatur mengenai tonic immobility
di Indonesia. Hal ini mengindikasikan tonic
immobility masih menjadi pembahasan yang tidak diketahui banyak orang.
Padahal, dengan memahami konsep tonic
immobility, masyarakat dapat lebih mengerti kondisi yang terjadi pada
korban kekerasan seksual dan memberikan dukungan yang seharusnya pada korban
agar dapat memudahkan korban pada proses penyembuhan pasca kejadian. Penulis
berharap tulisan ini dapat membantu masyarakat secara umum dan pihak-pihak tertentu
yang ingin lebih mendalami tonic
immobility dan konsepnya pada manusia yang mengalami peristiwa traumatis
berat seperti kekerasan seksual.
Daftar Pustaka:
Abrams, M. P.,
Carleton, R. N., Taylor, S., Asmunsond, G. J. G. (2009). Human Tonic
Immobility: Measurement and Correlates. Depression
and Anxiety Journal 26, 550-556.
Bados, A.,
Toribio, L., García-Grau,
E. (2008). Traumatic Events and Tonic Immobility. The Spanish Journal of Psychology 11(2), 516-521.
Fusé, T., Forsyth, J. P., Marx, B., Gallup, G. G., Weaver, S. (2007).
Factor Structure of Tonic Immobility Scale in Female Sexual Assault Survivors:
An Exploratory and Confirmatory Factor Analysis. Journal of Anxiety Disorders 21, 265-283.
Humphreys, K. L., Sauder, C.L., Martin, E. K., Marx, B. P. (2010). Tonic
Immobility in Childhood Sexual Abuse Survivors and Its Relationship to
Posttraumatic Stress Symptomatology. Journal
of Interpersonal Violence 25(2), 358-373.
Kalaf, J., Coutinho, E. S. F., Vilete, L. M. P., Luz, M. P., Berger, W.,
Mendlowicz, M., Volchan, E., Andreoli, S. B., Quintana, M. I., Mari, J. D. J.,
Figueira, I. (2017). Sexual Trauma is More Strongly Associated with Tonic
Immobility than Other Types of Trauma: A Population Based Study. Journal of Affective Disorders 215, 71-76.
Marx, B.P., Forsyth, J. P., Gallup, G. G., Fusé, T., Lexington, J. M.
(2008). Tonic Immobility as an Evolved Predator Defense: Implications for
Sexual Assaults Survivors. Clinical
Psychology: Science and Practice 15(1), 74-90.
Moller, A., Sondergaard H.P., Helstrӧm, L. (2017). Tonic Immobility During Sexual Assault: A Common Reaction Predicting Post-Traumatic Stress Disorder and Severe Depression. Acta Obstet Gynecol Scand 96, 932-938.
Wongkar, G. M. (2019). Analisis Feminisme Kasus Perkosaan dan Dalil Negasi Terhadap Korban Seperti Terefleksi dalam Novel Thirteen Reasons Why Karya Jay Asher. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi.
Komentar
Posting Komentar