Victim Blaming: Apakah Kamu Salah Satu Orang yang Menyalahkan Korban Kekerasan Seksual?
Pia Arnis (yulfia.arnis@gmail.com)
-
Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi
permasalahan mendesak di Indonesia saat ini. Dalam kurun waktu 12 tahun
terhitung dari Tahun 2008 hingga 2020, Komnas Perempuan menuliskan peningkatan
kekerasan terhadap perempuan telah mencapai 792% atau delapan kali lipat. Data
ini hanyalah fenomena “gunung es”, sebagai pemahaman bahwa data tersebut
didasari pada pelaporan yang ada, bukan jumlah kasus sebenarnya yang tidak
dilaporkan oleh korban atas alasan tertentu. Delapan kali lipat hanya dalam
kurun waktu 12 tahun, mengindikasikan bahwa perempuan Indonesia tidak hidup
secara aman bahkan di lingkungan terdekatnya sendiri.
CATAHU 2020 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan
mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang
tahun 2019, dimana jumlah kasus ini meningkat sebanyak 6% dari tahun
sebelumnya. Kekerasan Seksual terutama, telah mendominasi 58% kasus kekerasan
terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas dengan jumlah kasus perkosaan
menduduki peringkat pertama sebanyak 715 kasus, pencabulan sebanyak 531 kasus,
dan pelecehan seksual sebanyak 520 kasus. Ingat! Jumlah itu hanya didasari dari
pelaporan kasus-kasus kekerasan yang diterima dan ditangani oleh lembaga
masyarakat terkait, atau istilah lainnya sebagai kasus yang ‘terlihat’.
Bagaimana dengan kasus yang tak tampak karena tidak ada laporan dari pihak
korban? Mungkin ada lebih banyak dari yang sanggup kita bayangkan.
Data yang disebutkan di atas pada realitanya tidaklah
mewakili seluruh jumlah kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di
Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia, Majalah
Magdalene dan situs petisi online Change.org menyebutkan bahwa terdapat 90
persen korban pemerkosaan di Indonesia yang memilih untuk ‘bungkam’ karena rasa
malu terhadap tekanan sosial yang dialami. Rasa malu ini tentu semakin
diperkuat dengan pemberitaan yang menempatkan perempuan selaku korban sebagai
‘pemicu’ terjadinya kekerasan seksual yang dialami dan justru berempati pada
pelaku dengan dalih ‘tak mampu menahan gairah seksualnya saat melihat seorang
perempuan berdiri sendirian pada malam hari’ (Lestari, 2019: 197).
Fenomena ini telah membawa kita pada fakta-fakta
menyakitkan mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia dan segala stigmanya
terhadap korban perempuan dengan berkembangnya mitos-mitos perkosaan serta
minimnya penjeratan hukuman bagi pelaku, sehingga kasus pemerkosaan terlihat
terus menerus terjadi. Seperti ungkapan Ramli Mansur, Bupati Aceh Barat pada
tahun 2011 lalu, yang dikutip dari Setyawati (2015: 1), mengatakan “Perempuan
yang tidak berpakaian Islami layak diperkosa”. Alasannya karena lelaki bisa
terangsang melihat dada dan pantat perempuan. Tindakan-tindakan seperti inilah
yang kemudian disebut sebagai ‘blaming
the victim’ atau ‘victim blaming’.
Victim
Blaming menurut Alfi (2019: 218)
adalah keadaan dimana korban justru disalahkan dan dituduh menjadi penyebab
dari kejadian yang dialaminya sendiri. Kasus Baiq Nuril yang sempat
menggemparkan Indonesia merupakan bukti nyata dari tradisi victim blaming yang ada di Indonesia yang dapat berasal dari
struktural negara, media, masyarakat, bahkan pada keluarga. Victim Blaming masih sangat sering dilakukan
terutama pada kasus sosial seperti kasus kekerasan seksual sesuai dengan
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Laura Niemi dan Lianne Young (2014,
dalam Lestari, 2019: 199) dengan judul “Blaming
the Victim in the Case of Rape”. Penelitian ini menemukan model pemerkosaan
melalui pemetaan penyerangan seksual dan perkosaan, dan melihat adanya kultur
atau budaya korban patut disalahkan.
Richmond-Abbott (1992 dalam Astuti, 2019: 153) percaya
bahwa keyakinan budaya kita tentang pemerkosaan membantu melestarikan sikap
menyalahkan korban atau victim blaming,
serta memaklumi pelaku pemerkosaan dan memperkuat perbedaan kekuatan dan
kekuasaan antarjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Masihkah kamu ingat
dengan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh penyanyi dangdut Via Vallen di
media sosial Instagram? Saat ia sebagai korban pelecehan seksual yang dilakukan
oleh pesepak bola ternama, bersuara atas tindakan pelecehan yang ia alami, tak
sedikit respon negatif diberikan oleh para warganet di akun media sosial
miliknya. Beberapa diantaranya menyalahkan Via Vallen sebagai pemicu karena
tidak menjaga pakaiannya dengan baik, beberapa lainnya bahkan mewajari tindakan
pelecehan yang dialami karena adanya ‘perbedaan budaya’ yang dimiliki pelaku
dan korban. Padahal dari budaya manapun, merendahkan dan melecehkan perempuan
tetap dianggap sebagai tindakan asusila dan merupakan kejahatan.
Pernahkah kamu berpikir penyebab kekerasan seksual
yang dialami oleh korban disebabkan oleh pakaian yang dikenakan korban yang
‘mengundang’? Atau korban yang mengalami kekerasan seksual dikarenakan ia yang
‘cantik dan menggoda’ atau ‘berjalan sendirian di malam hari’? Maka secara
tidak langsung itu adalah bentuk menyalahkan korban atas tindakan kekerasan
yang mereka alami. Najib (2020: 3) menuliskan ada banyak media massa yang
bahkan menggiring masyarakat untuk lebih menyalahkan korban dan menormalisasi
tindakan pelaku pada berita terkait yang mereka terbitkan. Pemilihan diksi pada
pemberitaan juga turut menempatkan korban sebagai orang yang lemah dan tidak
berdaya. Korban sering divisualisasikan menggunakan pakaian atau ciri fisik
tertentu yang menempel pada korban, sehingga korban dianggap bersalah karena
menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual yang ia alami. Padahal berdasarkan
pernyataan Avigail Moor (2010, dalam Setyawati, 2015: 11), tidak ada
hubungannya atara cara berpakaian perempuan dengan keinginan perempuan untuk merangsang
orang. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Astuti (2019, 162) yang
menyebutkan berdasarkan data, perempuan yang mengalami pelecehan seksual justru
berpakaian rapat dan tertutup.
Dilansir dari detik.com yang ditulis pada 23 Juli
2019, Koalisi Ruang Publik Aman menyampaikan survei yang dilakukannya terkait
hubungan pakaian dan tindakan pelecehan seksual yang terjadi. Dari hasil survei
itu, peringkat tiga besar yang menududuki persentase pakaian yang dikenakan
korban adalah rok dan celana panjang (17,47%), disusul dengan baju lengan
panjang (15,82%), dan baju seragam sekolah (14,23%). Persentase sisanya diisi
oleh baju longgar, hijab pendek/ sedang, baju seragam kantor, hijab panjang,
dan rok selutut atau celana selutut. Baju ketat atau celana ketat hanya (1,89%)
saja dari keseluruhan total data yang ada. Sedangkan perempuan yang berhijab
dan bercadar mengalami pelecehan seksual sebesar (0,17%). Anggapan pakaian
korban yang mengundang pelecehan seksual telah dibantahkan oleh survei yang
dilakukan oleh lembaga ini. Meskipun begitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
turut menghimbau perempuan untuk tetap berpakaian tertutup sebagai langkah
pencegahan terhadap terjadinya tindak kejahatan.
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Putri (2012)
dengan judul “Blaming the Victim:
Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa”. Penelitian tersebut
menyatakan perempuan korban pemerkosaan pada koran Suara Merdeka digambarkan sebagai sosok yang pasif, lemah, dan
tidak berdaya menghadapi pelaku. Korban dianggap sebagai penyebab pemerkosaan
itu terjadi serta korban dikelilingi oleh stigma dan label tertentu dalam
masyarakat yang dapat memberikan beban psikologis tertentu pada korban.
Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat pun turut menjadi pendukung pada
normalisasi victim blaming terhadap
korban kasus kekerasan seksual. Richmond-Abbott (1992 dalam Putri, 2012: 10)
menuliskan realita bahwa banyak orang percaya hanya anak perempuan yang nakal
yang diperkosa, dan mereka yang diperkosa memang meminta untuk diperkosa.
Mitos lainnya yang sudah ada sejak ribuan tahun yang
lalu menyatakan bahwa perempuan pada dasarnya adalah penggoda sebagaimana Hawa
menggoda Adam. Kepercayaan akan mitos ini kemudian terus diyakini oleh
masyarakat sehingga menempatkan laki-laki sebagai orang yang tidak bersalah
saat melakukan tindakan kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Padahal
faktanya, ditemukan mayoritas pemerkosaan didasari oleh perencanaan. Ini
membuktikan bahwa pemerkosaan merupakan tanggung jawab pelaku, bukan korban
(Lestari, 2019: 200).
Seringkali masyarakat Indonesia menempatkan korban
sebagai ‘pemicu’ kekerasan seksual yang dialaminya dengan berbagai alasan yang
mendukung, seperti pakaian korban yang mengundang, korban yang berjalan
sendirian di malam hari, hingga korban yang dianggap menggoda pelaku untuk
melakukan tindakan kekerasan seksual tersebut. Bahkan, korban dituduh turut
menikmati kekerasan seksual yang dialaminya dan dianggap turut mengambil keuntungan
dari tindakan keji tersebut. Tak sekali dua kali penulis melihat anggapan
orang-orang yang menyebutkan saat korban diperkosa, ia turut ‘bergoyang’. Atau
pernyataan-pernyataan merendahkan lainnya yang dilemparkan pada korban. Korban
yang diperkosa oleh pasangannya, dalam hal ini masuk pada Kekerasan Seksual
dalam Ranah Pribadi, dianggap sebagai sexual
consent atau hubungan seksual yang didasari ‘suka sama suka’. Padahal pada
kenyataannya, ada banyak faktor yang membuat korban tak dapat melawan, hingga
tak berani melaporkan kasus yang dialami. Ironi inilah yang kemudian membuat victim blaming menjadi budaya dalam
masyarakat Indonesia dan menempatkan pelaku dan tindakan kekerasan yang dia
buat sebagai kewajaran.
Kondisi victim
blaming ini juga didukung oleh persoalan moralitas dan mitos-mitos lainnya
yang masih berkembang di tengah masyarakat, seperti pembagian kelas pada
perempuan ke dalam kategori perempuan baik dan perempuan tidak baik. Perempuan
korban perkosaan dianggap sebagai perempuan yang tidak baik karena telah
berhubungan seksual sebelum ikatan pernikahan terjadi. Maka tak jarang kasus
pemerkosaan justru diselesaikan dengan cara menikahkan korban dengan pelaku
agar pelaku dianggap ‘bertanggung jawab’ atas perbuatannya. Akibatnya, banyak
kasus perkosaan yang berhenti pada proses pemeriksaan di kepolisian karena
adanya anggapan pelaku yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban (Setyawati,
2015: 8). Kenyataannya, menikahkan korban dengan pelaku bukanlah solusi yang
baik, yang justru memberikan beban psikologis yang lebih berat pada korban
karena ia justru dipaksa untuk bersama dengan pelaku yang telah memberikan
trauma padanya.
Astuti (2019: 162) menyebutkan relasi gender yang
menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, menganggap wajar adanya
dominasi seksual yang dialami oleh perempuan. Laki-laki secara budaya memang
sudah memiliki “privilage” budaya, sehingga semakin merasa di atas angin,
terlebih bila memiliki kekayaan dan kekuasaan tertentu. Akibatnya,
korban-korban yang berani mengungkapkan apa yang mereka alami justru
mendapatkan respon negatif dari orang-orang di sekitar, baik di dunia maya
maupun di dunia nyata.
Bila kamu telah paham mengenai pentingnya setiap
manusia untuk tidak victim blaming
atau menyalahkan korban atas segala bentuk kekerasan seksual yang dialami, maka
ada beberapa hal yang perlu ditanamkan pada diri agar menjadi pribadi yang
tidak menyalahkan korban atas segala tindakan kekerasan yang ia alami. Kita
harus meyakini bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan kejahatan yang tidak
diinginkan oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Penyebab kekerasan
seksual yang terjadi tidak terletak pada korban sebagai ‘pemicu’ atau
‘pengundang’ pelaku untuk melakukan tindakan tersebut. Pakaian atau moralitas
perempuan tidak menjadi penyebab kekerasan seksual terjadi, telah banyak
penelitian dan data yang tersebar di tengah-tengah masyarakat dewasa ini. Penyebab
kekerasan seksual terjadi murni karena isi pikiran pelaku dan secara mayoritas,
tindakan ini telah direncanakan didukung dengan peluang, apa pun pakaian yang dikenakan oleh korban.
Pahami bahwa keterbukaan korban akan kasus yang
dialami tentu didasari oleh pertimbangan tertentu, sebab menceritakan kejadian
pahit yang menimpa korban bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Banyak
orang meremehkan keberanian korban dan cenderung akan menilai secara buruk
korban yang sudah berani speak up
atas dirinya sendiri. Maka hargai keberanian korban dengan cara berfokus pada
korban dan mendengarkan korban dengan baik. Memberikan rasa nyaman dan aman
merupakan fokus utama untuk korban agar korban merasa bahwa ia telah melakukan
keputusan yang tepat untuk bercerita pada kamu. Hindari merespon cerita korban
secara subjektif atau melalui opini pribadi yang tidak didasari secara data dan
fakta yang ada. Hal ini dapat meminimalisasi diri untuk tidak menghakimi korban
secara sebelah mata saja tanpa memedulikan perasaan korban, karena sikap ini
justru dapat berujung pada victim blaming
dan memojokkan korban. Akan lebih baik lagi bila kamu memiliki pengalaman dalam
memperjuangkan keadilan untuk korban secara hukum atau membantu korban menemui
pihak yang tepat dalam upaya untuk menyelesaikan kasus yang dialami atau
memulihkan kondisi psikologis korban.
Daftar Pustaka:
Alfi, I. (2019).
Faktor-Faktor Victim Blaming
(Menyalahkan Korban) di Wilayah Praktek Pekerja Sosial. Islamic Management and Empowerment Journal 1(2), 217-228.
Astuti, S. W.
(2019). Victim Blaming Kasus
Pelecehan Seksual (Studi Netnografi Pelecehan Seksual Terhadap Via Valen di
Instagram. Jurnal PROMEDIA 5(1),
145-165.
Darmajati, D.
(23 Juli 2019). Pelecehan Seksual Tak Ada Kaitan dengan Pakaian Korban,
Sepakat? Diakses pada 09 Agustus 2020 dari https://news.detik.com/pro-kontra/d-4636306/pelecehan-seksual-tak-ada-kaitan-dengan-pakaian-korban-sepakat.
Komnas
Perempuan. (2020). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019.
Jakarta: Komnas Perempuan.
Lestari, A. P.
(2019). Blaming the Victim: Alienasi
Gender dalam Media Online. Jurnal Ilmu
Dakwah 39(2), 197-213.
Najib, F. D.
(2020). Blaming the Victim:
Objektifikasi Korban Kekerasan Seksual dalam Pemberitaan di Media Online Balairungpress.com. Jurnal Interaksi Online 8(2), 53-63.
Putri, D. M. A.
(2012). Blaming the Victim:
Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika
dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011- Januari 2012).
Setyawati, M.
(2015). Blaming the Victim dalam
Kasus Perkosaan. Jurnal Kategori Hukum Masa Depan Hukum Indonesia.
Komentar
Posting Komentar